Jumat, 03 Juni 2011

Sir. Roger O’Connor “Terbunuhnya Si pengusaha”

Ini adalah tugasku, meniti misteri dari sudut yang paling rinci hingga puing-puing paling dzahir sekalipun, tiada yang kutakuti di bumi ini, kecuali tuhan dan orangtuaku yang telah mewariskan otak cemerlang ini kepadaku, yang akan kupakai sampai akhir hidupku untuk menyingkap tabir yang menutupi indahnya kebenaran.
Roger O’Connor. Nama itu melekat dalam diri dan tulang belulangku dari hari pertama ku dilahirkan hingga detik ini, kini aku genap berusia tiga puluh lima tahun, umur yang cukup subur untuk melakukan banyak hal di dunia yang kecil dan mungil ini. Jam masih menunjukkan pukul empat tiga puluh pagi, aku terbiasa untuk minum coklat hangat sambil memandangi dua wajah mendiang orangtuaku di dalam bingkai foto berukuran sangat besar yang terpajang di ruang tamu tempat ku berdiri saat ini. Dering ponsel mengusikku ditengah suasana yang hening.
“Tolong datang ke sebuah rumah berwarna dominan abu-abu dengan gaya minimalis nomor 19 di komplek elite Beverly hill, I’ll be waiting” suara itu milik rekanku dikepolisian Dimbilsky. Ku simpan sisa coklat itu dalam kulkas dan kuraih mantel hitam berbulu coklat di bagian kerahnya yang tersangkut di balik pintu dan aku segera meluncur dengan sedan biru tua milik ayah ku yang ku parkir di bagasi.

Garis kuning bertuliskan POLICE LINE menutupi bagian area rumah itu, ku tinggalkan mobilku agak memojok ke pinggir jalan dan ku masuki rumah itu yang kini berubah menjadi TKP.
“Cepat sekali” sapa Dimbilsky lalu kami berjabat tangan di ruang tamu nya yang berlantai catur dengan Gucci tua besar bertengger di setiap sudut.
“Aku tak mau mengecewakan siapapun” ucapku singkat.
“Biar ku perkenalkan, ini James Brown, rekan korban dari perusahaan minyak bumi” Dimbilsky menunjukkannya dengan sopan padaku seorang berkulit putih terang berambut pirang bermata biru dengan jas hitamnya.
“Ini Miss Lisa Siirman, adik Rose Valencia, dan ini David Siirman, usianya masih tujuh belas tahun, anak satu-satunya Rose Valencia, pakaiannya terlihat aneh, ia mengenakan baju biru tua dengan celana jeans berkantong di bagian kedua lututnya.” Lisa nampak tersedu-sedu menahan airmata yang sudah sejak tadi meleleh hingga hidungnya memerah, sementara David hanya tertundung dengan muka merah padam.
“Semua manusia pasti akan mati. So, be stronger right” aku tersenyum berusaha menguatkan mereka.
“Bagianmu ada diatas”
“Sepertinya aku tertinggal jauh”
“Hahaha not at all”
Aku melesat menaiki anak tangga yang cukup besar dan panjang berwarna merah marun di selimuti karpet hijau tua di tiap anak tangganya. Sebelum aku memasuki pintu besar berwarna putih tempat korban dibunuh itu aku berkeliling menjamahi kamar-kamar yang ada di lantai dua. Kamar pertama yang kusinggahi adalah milik Lisa, tidak ada benda-benda mencurigakan, hanya tumpukan buku-buku kuliahan dan kertas kerja yang berserakan. Langkahku terdengar bergema ketika menapak di dalam kamarnya yang luas dan atapnya yang tinggi menjulang, kamar berikutnya berada di sisi kanan kamar korban, warna pintunya coklat mendekati hitam dengan pahatan kayu bertuliskan DAVID SIIRMAN, suara music aliran rock masih nyaring terdengar memkik telingaku. Kuputuskan untuk mematikannya walau tanpa seijin david lalu kumasukkan CD tersebut kedalam saku, kurasa itu sedikit berguna nanti.
Seonggok jasad tak bernyawa di dalam bak kamar mandi. Ku lihat lekat-lekat mayat itu dengan seksama, air di bak itu tumpah bercucuran membenamkan jasad itu, mungkin sekitar beberapa jam yang lalu karena jasadnya belum membusuk dan bengkak.
“Ia Rose Valencia Siirman” seru Charlie, polisi berseragam lengkap berwarna biru gelap itu menghampiriku.
“Yah aku tahu, pengusaha paruh baya ini cukup terbilang sukses” balasku.
Aku berjalan mengitari bak mandi dan langkahku terhenti di depan sebuah gelas kaca bening di atas meja dekat bak mandi yang berwarna putih mengkilat berisi setengah air, mungkin baru diminum beberapa teguk. Aku menekan beberapa tombol di ponselku.
“Dim, would you like to come in ?”
Dimbilsky langsung menutup telepon dari ku dan menghampiri kami di kamar korban. Tak lupa bersamanya juga sanak saudara dan rekan Rose.
“Kapan terakhir kali kalian bercengkrama dengan korban”
“Semalam pun kami masih bertemu dengan dia, tapi…” Lisa menghentikan perkataannya.
“Tapi apa ?” tanyaku lagi
“Semalam setelah beliau memasuki rumah dan bertemu kami ia terdengar bercekcok via telepon dengan James dikamarnya” kini David mengambil tindakan.
“hmm itu hanya masalah bisnis, biasa haha” James terbata.
“Maaf aku terlambat” seseorang datang dengan baju kemeja hitam dan celana bahan yang sama hitamnya dengan beberapa tangkai bunga dalam genggamannya.
“Perkenalkan aku Bryan Mcqueen, rekan kerja Rose juga” ia terlihat berkeringat, mungkin karena ia sedikit tergesa untuk sampai kemari.
“Apa ada lagi yang kita tunggu ?” Tanyaku kepada semua.
“Kurasa tidak” jawab Dimbilsky dengan suara khasnya yang besar dan agak serak.
“Dugaanku dia bun…”
“Bukan” aku memotong perkataan Charlie yang belum tuntas.
“Dia terbunuh bukan bunuh diri”
“Darimana kau tahu tentang itu ?” tanya Charlie mencoba membantah argumenku.
“Kapan kau menelepon Rose ?” ku lontarkan pertanyaan itu pada James.
“Hem tadi malam, saat aku masih berada di Seatle” jawabnya.
“Dan kau lisa, sedang apa kau malam itu”
“Aku sedang mengerjakan tugas kantorku di kamar”
“Baiklah rampung sudah, ku pastikan bahwa pembunuhnya adalah kau David” tak kusangka pernyataanku membuat mata mereka semua terbelalak melihat ke arah ku.
“Dengan segala hormat Sir Roger O’connor, jangan sembarangan menuduh keponakanku yang bukan bukan, ia sedang berada di kamarnya, aku dengar sendiri ia sedang memutar kaset rock dengan suara keras” bentak Lisa.
“Apa kau bisa mengelak dengan barang bukti ini” ku lemparkan sebuah piringan CD, di hadapan mereka.
“Ku temukan CD ini dikamar sepupumu sebelum aku memasuki kamar Rose,”
“Bagaimana kau tahu pembunuhnya hanya dengan barang bukti berupa CD ?” Dimbilsky bertanya lagi.
“itu pertanyaan bodoh Dim, kau tahu aku kan ?”
“But, how ?” Lisa mulai menangis lagi.
“CD ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian, lalu obat bius digunakan dalam dosis tinggi sehingga berdampak kematian seketika, agar terkesan korban bunuh diri ia membenamkan jasad Rose dalam bak mandi, dan seutas tali digunakan untuk menarik kunci kamar sehingga terkesan pintu terkunci dari dalam, padahal tali disangkutkan ke dalam lubang yang terdapat di kunci kamar, lalu ia mencoba mengunci kamar Rose dari luar dengan menggerak-gerakkan tali itu. Setelah terkunci barulah ia kembali kekamarnya, atau …” aku sengaja menghentikan penjelasanku.
“Atau apa Roger ?” seru Dimbilsky.
“jangan bilang kalau dia yang pertama kali memberitahumu kalau Rose meninggal” Tanya ku kembali kepada Lisa.
“I…iya” kenang Lisa mengingat-ingat lalu menatap wajah David penuh tanda tanya.
“Kenapa ? kenapa David ?” Lisa semakin tersedu-sedu.
“Kau lebih percaya orang ini dari pada aku keponakanmu ?” Tanya David.
“Aku bingung” Lisa menutup muka dengan kedua tangannya lalu bersandar di dada James.
“BOOMBASTER” seru ku sambil melontarkan bola kecil berwarna putih yang ku ambil dari mantelku ke atas lantai, bola itu mengeluarkan serbuk putih yang sangat pekat. setelah asap dari bola itu hilang terlihat jelas sidik jari dan jejak pelaku pembunuhnya. Mereka menutup hidung mereka dengan tangan, kecuali aku.
“What was that Sir ?” Tanya James.
“Alat ini adalah penjelas jejak dan sidik jari, ku setel waktunya dan ia akan menampilkan jejak dan sidik jari sesuai dengan waktu yang kusetel.
“Lepas sepatumu” suruhku kepada David, dengan kesal ia melemparkan sapatunya ke hadapanku.
“David, kau terlalu muda untuk menjadi seorang pembunuh, bahkan kau terlalu takut untuk menyimpan rapi semua barang buktinya”
“hanya seutas tali dan obat bius yang belum terlihat” ucap Dimbilsky.
“yeah, show me kid ! ” paksaku.
“god damn, Diam kalian semua !” David menjauh lalu menodongkan pistol ke arah kami.
“Hei take it easy boy” Bryan mencoba menenangkan David
“Kita bisa selesaikan ini baik-baik nak” James menambahi.
“Kalian semua tidak tahu penderitaanku, dia yang mengaku ibu kandungku tidak pernah ada untukku, bisnis adalah anaknya yang sebenarnya. Dia lebih memilih menghadiri rapat daripada menghadiri acara penganugerahan piala olimpiade fisika yang kumenangkan, itu belum seberapa dibandingkan saat aku berulangtahun, dia mengadakan pesta untukku walaupun wujudnya tidak ada dihadapanku, aku menangis dalam senyum ditengah pesta ulangtahunku sendiri, dan kau tahu. Ia hanya mengirim pesan suara sambil berpura-pura bahagia mengucapkan selamat ulangtahun karena ia harus survey di berbagai Negara, ” David berteriak dengan lantang dengan wajah makin memerah.
“Tapi dia ibumu David” teriak Lisa.
“Ya memang, dan aku tidak menyesal telah membunuhnya” tegas David.
“Jangan macam-macam denganku, nak” ucapku.
“Apa kau bisa bergerak cepat melebihi peluru ini hah ?” teriak David lagi menggertakku.
“iya” jawabku setelah berada di belakangnya dengan gerakan cepat lalu kupukul lehernya dengan tangan kiriku hingga pingsan.
“Unbelievble” gumam Bryan.
“Charlie ringkus tersangka” perintah Dimbilsky pada Charlie.
“Yes Sir” jawabnya.
Ku bersihkan sedikit mantelku dari sisa serbuk tadi ketika menuruni tangga bersama mereka. Terlihat Lisa sudah tidak menangis lagi, James dan Bryan asyik ngobrol dan Dimbilsky masih menatapku dengan sedkit kagum, mungkin.
“Kau detektif terunik yang pernah kutemuai” ucap Bryan.
“Bagaimana kau melakukan jurus itu ?” Tanya James penuh semangat.
“Itu berkat ilmu bela diri saja, oh iya ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan” tutur ku kepada semua. Setelah itu aku pamit dan keluar sambil membakar cerutu untuk menghangatkan tenggorokanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar