Hari ini sebuah undangan datang dari perusahaan minyak milik James Brown, perusahaannya mengadakan pertemuan sambil menggalang dana untuk korban gempa di Indonesia dan juga korban kelaparan di Haiti. Sedan biru tuaku pun melesat pasti menyusuri jln. Broadway, ponselku berbunyi cukup keras membuyarkan lamunan sesaat itu di tengah lampu merah yang cukup lama.
“Sir, apa kau sudah dekat ?” sapa James di telepon
“Yeah, I’m on my way ?” jawabku.
“Kau pasti takkan menyesal, akan ada Madeline Simpson menghibur kita nanti” ucapnya lagi.
“Kau pasti bercanda, She’s my favorite ?” Tanya ku heran dan kaget bukan main.
“Dia ingin menyumbangkan suaranya, how nice she is haha”
“Oke sebentar lagi aku sampai, bye”
Aku teruskan memutar-balik setir mobilku sesuai alur jalan yang ku lewati, setelah sampai, aku seperti bintang Hollywood, berjalan di red carpet tanpa harus memarkir mobil terlebih dahulu, acara penggalangan amal ini sungguh membuatku bangga.
“Sir Roger O’Connor, Right ?” seorang wanita memanggil namaku dengan sangat tepat dan lancar, dia memakai terusan berwarna merah muda dengan bulu-bulu angsa di sekitar dadanya, sangat menawan mengingat wajahnya yang cantik jelita.
“Reputasiku ternyata datang lebih dulu dari bayanganku haha, yeah dan kau pasti Madeline Simpson” balasku tak mau kalah.
“Hem begitulah kira-kira, I’m sorry I gotta go” ucapnya sedikit mencibir.
“Oh never mind” aku berusaha untuk tersenyum. Ku berjalan beberapa langkah hingga aku terhenti di sebuah tempat duduk yang masih kosong dan langsung ku duduki.
“Sir kenapa tidak bilang kalau kau sudah datang” kini James menghampiriku dengan ramah.
“Apa aku harus adakan apel untuk lapor diri kepadamu” tutur ku
“Kau bisa saja, hei sebentar lagi dia akan menyanyi, I can’t wait haha”
“Hem boleh aku duduk di depan, aku juga ingin melihat dia lebih dekat”
“Oh sangat boleh Sir, mari” tawarnya mempersilahkanku jalan terlebih dahulu. Deretan bangku paling depan telah menantiku, di sana terlihat para pejabat yang ku lupa namanya namun aku sangat mengapresiasi kinerja mereka.
“This is it, please welcome, Madeline Simpson” pembawa acara menyebutkan nama itu dengan semangat di sambut dengan gemuruh tepuk tangan penonton yang juga memadati gedung pertunjukkan itu.
“Oceans Apart day after day…” ia menyanyikan lagi Richard Marx berjudul here waiting for you dengan sangat lembut, aku sampai terpejam menikmati suaranya, di tengah ia menyanyikan reef lagu tersebut aku membuka mataku kembali untuk meminum wine yang sudah tersedia di atas meja. Kembali ku perhatikan wanita yang sudah cukup berumur namun tetap bugar itu dengan mata kagum hingga perhatianku tertuju pada titik merah yang mematung di sekitar bulu-bulu angsa di dadanya, mataku cukup jeli ntuk membedakan apakah itu semacam kotoran atau sebuah….oh my god, itu lampu laser, ku bergegas menuju atas panggung dan merobohkan dirinya seketika. Benar saja sebuah peluru yang mungkin akan menembus tubuh rampingnya jika aku tidak buru-buru sadar kini hanya menembus lantai panggung yang terbuat dari keramik. Para penonton berhamburan keluar setelah mendengar bunyi senapan itu yang tak jelas muaranya.
“Sir, Miss, apa kalian baik-baik saja ?” James menghampiri kami, Madeline hanya mengangguk lemah.
“Guard bawa Miss. Madeline ke ruang ganti” aku menyuruh petugas berbaju safari hitam untuk membawa Madeline ke ruangannya.
“Ada yang tidak beres di sini” aku mengambil kacamataku dari balik mantel dan menekan tombol kecil di sisi kirinya, lensanya langsung berubah menjadi alat pendeteksi hawa panas, ku arahkan mataku ke ventilasi dan tempat-tempat masuknya udara dari luar, namun tak kutemukan tanda-tanda hawa panas tubuh manusia disana.
“Aku ingin bertemu Madeline dulu okay?” tuturku, James hanya menganggukkan kepalanya. gedung yang tadi penuh oleh tamu undangan kini seperti kuburan, sepi dan sunyi. Hanya ada aku dan petugas-petugas penjaga dan James. Tenda berwarna putih bersih tempat Madeline berada juga hampir sunyi, hanya ada dia dan stylist nya saja yang sedang memeluk tubuh ramping Madeline.
“Bagaimana keadaanmu ?” Tanya ku
“Better” jawabnya singkat.
“Bisakah kau ikut aku sebentar,” dengan kacamata yang masih melekat di batang hidung aku mencoba membujuknya.
“Kemana ?”
“Ke atas panggung, jangan takut”
“Okay kau tunggu diluar sebentar aku ingin merapihkan diriku” Madeline terlihat pucat dengan mascara yang mulai luntur terkena airmatanya yang tumpah cukup deras sejak tadi. Aku beranjak keluar tenda dan beberapa saat kemudian Madelin keluar dengan baju putih polos dan celana pendek selutut berwarna biru langit tak bercorak.
“Follow me “ pintaku.
Setelah sampai di atas panggung ku suruh dua orang petugas dan James untuk berkumpul ketengah panggung.
“Ini adalah ulah sniper, aku sudah duga itu, sekarang aku ingin mengecek atap gedung ini,”
“Tapi kaca yang menutupi ventilasi itu anti peluru Sir" ucap salah satu petugas yang datang menghampiri kami dengan membawa sebotol air minum.
“Hem begitu yah, baiklah” aku berlari meninggalkan mereka menuju Ventilasi gedung yang cukup besar menyerupai ruangan dan kuyakini ini adalah tempat Sniper itu menembakkan pelurunya. setelah sampai disana aku masih bisa melihat Madeline dan petugas bepakaian serba hitam dari atas. prediksiku benar, kulihat sebuah lubang kecil menembus kaca yang katanya anti peluru, lubang itu terlihat rapi, tanpa cacat sedikitpun. Kini Polisi mulai berdatangan setelah kulihat kebawah untuk kedua kali nya
“James, tolong kemari dan bawa pasir sebanyak yang kau bisa” aku menelepon James dan dia langsung menoleh kearahku ketika mengangkat teleponnya.
“Untuk apa, darimana kudapatkan itu ?”
“Just do what I say, okay” aku langsung menutupnya. Setelah itu kulihat James menyuruh beberapa petugas untuk ke belakang, kemudian petugas-petugas itu kembali ke atas panggung dengan membawa beberapa kantong plastik. James berlari kecil diikuti dua orang tadi dibelakangnya.
“Ku ambil pasir ini di di belakang gedung” James melapor kepadaku.
“Kaca ini dipasang agak condong kedepan kan ?” tanyaku pada mereka.
“yeah” jawab salah satu petugas.
“Sekarang siramkan pasir itu ke kaca ini”
“Apa yang ingin kau lakukan Sir ?” Tanya James lagi.
“Kaca ini dilumuri lem cukup banyak, apa kau tidak mencium baunya ?” aku menyadarkan James.
“Oh iya, aku tidak menduganya”
“Sekarang kita turun”. Aku memberi komando kepada mereka untuk turun menuju panggung, James bertanya mengapa dua petugas itu kusuruh menyiramkan pasir ke kaca, namun tak kiu hiraukan.Kami pun kembali ke atas panggung.
“Sir kami telah mengintrogasi Madeline tadi, kami akan kembali lagi besok dengan data-data yang kau butuhkan” salahsatu polisi menemuiku dan melaporkan situasinya. Lalu mereka pergi meninggalkan TKP.
“Sorot tempat itu dengan lampu” dengan sigap James mengambil remote control penggerak lampu sorot dan mengarahkannya ke tempat ventilasi itu.
“CATH ME IF YOU CAN CONNOR !!” tulisan itu terlihat jelas ketika disinari oleh lampu sorot.
“Bagaimana peluru itu menembus kaca ?” James memperhatikan.
“Sebelum menembak ia melubangi kaca itu dengan sebuah alat dan dia tidak menembak dari ventilasi itu melainkan dari luar sana, pasti dia menggunakan teropong X-RAY dan laser yang bisa menembus dinding. Masalah tulisan itu, sepertinya orang ini sudah tahu bahwa aku akan melindungi Madeline. hem dia ingin bermain-main denganku rupanya” aku berlari lagi menuju ventilasi gedung, mereka mengikutiku termasuk Madeline, calon korban penembakan tadi.
“LINE DETECTOR” gumamku saat kulepaskan sebuah peluru dengan kecepatan tinggi sehingga membentuk udara menjadi garis tegak lurus dengan arah peluru itu. kukutembakkan peluru itu sejajar dari kaca yang berlubang sehingga peluru itu dapat melewati lubang tadi.
“Apa itu Sir ?” Madeline penasaran.
“Alat ini kuberi nama Line Detector, sekilas ini seperti senjata laras pendek pada umumnya namun kelebihannya terletak di pelatuknya yang kurancang untuk kecepatan sangat tinggi, kebetulan lubang yang ada di kaca tegak lurus dengan lubang yang ada di dinding gedung dan sudah barang tentu sinar ini akan mengantarkan kita pada lokasi Sniper yang sebenarnya.” Jelasku.
“Awesome” gumam James dan dua petugas itu.
“Now follow me” aku menuruni tangga lagi dan mereka pun mengikuti, kini kami berada di luar gedung dengan nafas lega.
“Bingo, ternyata dia berada di gedung itu” Line Detectorku melintang dan ujungnya terlihat memasuki sebuah ruangan di dalam gedung tua, gedung itu berada tak jauh dari lokasi gedung penggalangan dana tempat kami berada.
“James antar aku kesana dan kalian berdua jaga Madeline” James langsung mengambil mobilnya dan muncul kembali kehadapanku, kedua petugas itu nampak bergegas ingin membawa Madeline ke dalam.
“Aku ingin ikut” ucap Madeline meminta.
“Ini terlalu berbahaya Madeline” jawabku.
“Hei Roger” Madeline mendekat dan memanggilku tanpa sebutan “Sir”, aku sempat kaget mendengarnya.
“Jangan mati” ucapan itu keluar dari mulut Madeline.
“Hanya tuhan yang boleh mematikanku” lalu aku memasuki mobil BMW putih milik James dan berangkat menuju gedung tua itu. Laju kendaraan James cukup cepat, satu dua mobil mampu ia lewati dengan mudah.
“are we there yet ?” James bertanya.
“yeah” jawabku, kulihat Line Detector masih mengeluarkan sinar terangnya yang sangat kontras dengan matahari yang mulai terasa terik siang ini. Gedung itu sepert cukup lama tidak dijamahi manusia, terlihat dari tumpukan sarang laba-laba dimana-mana, warna dinding yang sudah kusam menambah kesan angker gedung ini, kami memilih untuk memasuki gedung itu dengan mobil lewat basement lalu naik ke atas melewati jalur spiral yang semakin kami ikuti semakin kami naik, seperti menaiki tangga.
James mempercepat laju mobilnya ketika sempai di lantai paling atas kami berhenti dan keluar dari mobil.
“Kau bawa itu juga rupanya” tuturku saat melihat pistol di samping jas James yang tersingkap.
“Untuk jaga jaga”
“Dimana orang itu ?” bola mataku tak lelah melirik ke kanan dan kiri namun tak ada tanda-tanda kehidupan disini. James masih diam membisu, hanya desah nafas lelahnya saja yang terdengar.
“Kau yakin dia berada disini ?” Tanya James heran.
“Instingku tidak pernah meleset”
Tiba-tiba suara tepuk tangan menggema di sekelilingku, suara tepuk tangan itu sepertinya hanya berasal dari satu orang, aku beranjak pelan memutar untuk memastikan siapa yang bertepuk tangan itu, James mengikuti.
“Long time no see Roger, you looks great” sosok berjas dan celana putih itu mulai terlihat dari gelapnya ruang gedung dan kini ia berada tak jauh dari hadapanku dan James, rambut panjangnya dikuncir dan bulu-bulu halus memenuhi bagian rahang dan atas bibirnya.
“Neville Kirby” lirihku disambut pertanyaan James tentang siapa orang itu, aku hanya terdiam tak menjawabnya.
“Apa kau tidak ingin memperkenalkanku dengan rekanmu itu Connor ?”
“Bullshit, apa maumu ?”
“Kau susah-susah datang kemari hanya untuk menanyakan apa mauku hah ?”
“Tunggu apa yang sebenarnya terjadi Sir ?” james mulai gerah dengan suasana ini.
“Dia …..temanku, waktu aku SMA” ucapku singkat.
“Oh how touching, kau masih mengakuiku teman haha, tapi aku tidak menganggapmu apa-apa, camkan itu”
“Aku tak peduli”
“Biarku jelaskan kepada temanmu itu dan juga untuk mengingatkanmu juga, ini bukan masalah penyanyi murahan itu, ini tentang cinta”
“Apa maksudmu ?” James mencoba bergabung dalam percakapan kami.
“Yah ini tentang cinta, perjalanan cintaku semasa SMA tidak semulus Roger, dan kau tahu apa yang membuatku merasa sakit sekali ?”
“Jangan membuang-buang waktu” tandasku.
“Wanita yang sangat aku cintai, dia tidak mencintaiku tetapi dia lebih memilih lelaki ini” bentaknya sambil menujukku.
“Jadi ini dendam masa lalu hah ?” James masih memegang pistolnya dengan sigap.
“Dia wanita yang sangat aku cinta dan juga sekaligus teman curhatku, bisa kau bayangkan betapa sakitnya mendengar cerita dari orang yang sangat kau cintai mencintai pria lain tapi pria itu menghempaskan orang yang kita cintai begitu saja bagai tak berdosa ?”
“Aku tidak bemaksud menghempaskannya Nev…”
“Diam kau bedebah ! kau cuma orang tak berperasaan yang berlindung dibalik wajahmu yang tampan dan sikap dinginmu yang mampu melelehkan wanita manapun lalu menghempaskannya” nada bicaranya semakin meninggi
“Aku tidak pantas mendapatkan cintanya Neville, aku hanya anak sebatang kara yang tidak punya apa-apa, aku tidak sempat memikirkan cinta saat itu”
“Kini dia telah mati, bunuh diri karena dia tidak bisa mendapatkan kau, keparat !”
“Oh god” gumamku.
“Cukup, mari kita selesaikan ini dengan caraku, ada empat orang Sniper di empat arah mata angin yang siap meretakkan tulang kalian ketika ku jentikkan jariku”
“Mau apa kau ?” usahaku untuk mengelak sia-sia, aku seperti singa yang tak berdaya dipanggung sircus.
“Ssssst” dia melangkah ke belakang kami dan setelah itu hanya gelap, rupanya pukulan tangannya cukup kuat mengenai pundakku hingga ku tersungkur dan tak sadar.
Suara tepuk tangan itu membangunkanku, Neville membawa kami ke tempat yang cukup remang, ruangan itu hanya disinari oleh lampu bohlam kuning yang menggantung dan bergerak kesana-kemari. Borgol menghiasi tanganku dan James, kami terduduk di lantai yang lembab, James berada di sampingku, dia masih belum siuman, mungkin dia belum terbiasa dengan pukulan sepeti tadi.
“Siapa yang ingin kubunuh lebih dulu hem ?” dengan nada culasnya ia menghampiriku.
“Takdirku bukan mati ditanganmu”
“Jangan macam-macam denganku” dia menarik pelatuk pistolnya.
Sebelum smpat menembakkan peluruny ku tendang tangannya dengan kekuatan penuh hingga senjatanya terlepas dan terserak di lantai. Kuberi sentuhan akhir di wajahnya dan ia tersungkur.
“Ah, sakit sekali kepalaku” James sudah sadar.
“Bil, kirim pasukan ke sebuah gedung tua berwarna hijau kusam dekat jln. Broadway, I need your help” tanpa menunggu jawaban dari Dimbilsky ku tekan tombol merah di ponselku. Menelepon seseorang dengan tangan diborgol bukan sesuatu yg mengasyikkan juga rupanya.
“Sir, bagaimana dengan Sniper-Sniper itu” Tanya James mengingatkanku. Kuperhatikan tubuh Neville dengan cermat lalu kutemukan sebuah talkey walkey.
“Namaku adalah Connor, Roger O’Connor. Jika kalian tidak ingin bernasib sama seperti Neville keluarlah dari persembunyian, ku anggap tidak ada masalah apa-apa tapi jika membangkang aku akan menjadi mimpi buruk bagi orang-orang seperti kalian” para Sniper itu tidak menjawab apa-apa. Setelah membuka borgol James kami berlari menuju tempat dimana mobil James berada, disana sudah ada Dimbilsky beserta puluhan polisi lainnya yang sedang sibuk menggeleda tempat ini.
“Kau selalu berada dipinggir kematian tapi kau selalu selamat” ucap Dimbilsky sambil menghisap cerutunya.
“Roger” suara emas itu memanggilku lagi.
“Aku telah memenuhi permintaanmu, aku tidak mati” senyumku terkembang juga dihadapannya.
“thank’s Sir” dia pun mengakhiri perkataannya dengan senyum indah penuh arti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar