Minggu, 21 November 2010

pengakuanku

Libur pasca UAN SMP baru saja usai, aku tentu sibuk mencari SMA mana yang kira-kira cocok bagiku melanjutkan pendidikan, favorit atau bukan bagiku samasaja, sama-sama sekolah, sama-sama tempat penghilang penat kepala ketika segudang masalah di rumah menanti. Seingatku hari itu tanggal 20 juni, kupijakkan kedua kakiku untuk pertama kalinya di SMA 72 jakarta. Bersama ibu dan adikku tercinta yang baru menginjak usia 4 tahun Aban, kami berjalan bersama menuju ruang pendaftaran yang sudah terisi penuh oleh para siswa baru sepertiku.
“pak berapa Uang Mukanya ?” Tanya ibu pada salah satu panitia yang saaat itu kebetulan melayani kami.
“biayanya dua juta rupiah Bu, tapi bias dicicil” jawab petugas itu ramah
“baiklah, ini” balas ibu sambil mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan lalu diberikan kepada petugas itu sambil berkata sisanya menyusul. Mataku mulai bergerak tak tentu memerhatikan keadaan sekitar, terlihat di pojok bangku sebelah kiriku orangtua dan anaknya sedang bertengkar karena si anak tidak mau masuk SMA ini, namun penglihatanku kini tertuju seutuhnya kepada sesosok wanita berambut ikal sepunggung yang sedang duduk melihat-lihat rapot SMP nya. Tak kurasa darahku mengalir deras seiring debaran jantung yang berdegup kencang, tak pernah kurasakan rasa ini sebelumnya, tak jemu ku melihatnya hingga Map yang ia pegang terangkat oleh bantuan tangan kanannya, SYIFA AZIZAH nama itu tertera jelas di sempul depan Map nya,
“Aa iyang pulang yuk, Aban capek nih” celoteh adikku membuyarkan lamunan sesaatku tadi. Kulihat ibu juga telah selesai menandatangani semacam kertas pendaftaran siswa baru. Kami segera bergegas menuju rumah karena hari mulai siang. Ku sempatkan melihat wajah nan ayu itu dari balik jajaran jendela yang transparan menampakkan kecantikkannya, tak kusangka senyum simpulnya mengampiriku dengan hangat. Sedikit terjadi tabrakan mata antara kami namun terpaksa harus terpisah karena kini hanya deretan tembok berwana coklat crem yang ada di hadapanku.
ЖЖЖЖ
Rekam wajahnya seakan tak dapat terhapus dari memori otakku, malah seperti di copy paste, semakin kucoba melupakannya semakin banyak saja jumlahnya. Apakah ini yang namanya cinta ? batinku mulai bergejolak, ku simpan rasa ini rapat-rapat. Kuharap tiada siapapun tahu soal ini. Ku coba mengalihkan pikiranku dengan bermain bersama Aban di halaman rumah dipayungi hangatnya mentari sore. Suara tertawa Aban seperti mengilhamiku tentang arti hidup, tak pernah kulihat iya menangis hanya karena tidak diberi jajan oleh ibu atau karena jatuh dari bangku. Hanya senyum dan tawa riang yang ia hadirkan di rumah yang cukup sederhana milik kami ini.
Matahari yang telah lelah menyinari bumi kini kembali di peraduannya di ufuk barat dan digantikan oleh anggunnya rembulan beriringan dengan bercak-bercak sinar bintang berkelap-kelip meramaikan kanvas langit.
“Gilang, ayo makan, nanti sayurnya dingin lho” ajak ibu dari balik pintu kamarku setelah mengetuknya beberapa kali.
“iya Bu, sebentar” jawabku singkat
“Ibu tunggu di bawah yah” ucapnya sedikt berteriak di sela-sela ia menuruni tangga rumah yang terbuat dari kayu dan mulai keropos karena sering terkena air cucian atau tetsan air hujan dari atap rumahku yang bocor.
ЖЖЖЖ
Hari-hari berlalu tanpa terasa, hingga tanpa sadar telah membawaku pada hari pertama masuk sekolah satelah beberapa hari menjalani kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS), kulihat daftar nama di papan mading sekolah baruku ini. Kurasakan bola mataku naik-turun mencari urutan abjad “G” yang berarti nama ku tercantum didalamnya. Segera ku berlari menuju kelas Xa yang menjadi kelasku selama setahun kedepan dan juga tempat bagiku mengeksplorasi kemampuanku.
“kamu Gilang kan ?” suara lembut memanggilku sekaligus bertanya padaku
“i..i.iya” jawabku terbata setelah ku berbalik kebelakang dan ternyata kulihat seraut wajah yang selalu memenuhi otak dan pikiranku kini berada tepat beberapa meter saja dari hadapanku
“Aku Syifa, salam kenal yah” tuturnya sambil berlalu melewatiku dan duduk di bangku kedua dari depan bersama temannya yang juga telah kukenal bernama Suci dengan bando hijau terang melingkar dikepalanya.
Aku pun telah duduk di bangku paling belakang, karena postur tubuhku yang lumayan tinggi hingga tak memungkinkan bagiku duduk di bangku depan. Pelajaran demi pelajaran kulewati dengan santai hingga tiba jam kosong karena guru yang harusnya mengajar di kelasku sedang berhalangan, teman-temanku yang berbakat untuk bercanda dan bernyanyi ala kadarnya sudah berkumpul di bangku paling belakang menyanyi sekenanya diiringi alunan gitar yang di petik oleh salah satu temanku.
Aku hanya diam di salahsatu bangku yang agak memojok ke dinding. Entah perasaanku saja atau memang benar terjadi, ku merasakan ada perhatian lebih yang tersirat dari tatapan si pemilik rambut ikal itu sedari tadi, aku tak berani membalas tatapannya, tulang leherku seakan tak berengsel hinnga sulit bagiku menggerakannya, pandai sekali ia rupanya membuatku salah tingkah, darahku seperti menngalir deras ke syaraf-syaraf wajahku hinnga rona merah terpancar di pipiku.
“Lang…Syifa tuh” Goda Arif, teman sebangkuku yang sejak tadi rupanya memperhatikan adegan yang sedang dilakukan Syifa terhadapku
“ah apaan sih lo Rif” ucapku sambil mencibir
Setelah beberapa lama kemudian guru pelajaran lain datang dan mulai mengajar hinggawaktu istirahat tiba.
ЖЖЖЖ
Setengah tahun sudah aku bersekolah di SMA 72, aku smakin akrab dengan temat-teman seklasku. “ATHNEA”adalah sebutan kelas kami yang terkenal dengan kekompakannya di bidang kebaikan maupun “kebaikan”, tak jarang kami mengerjakan PR Matematika dengan satu sumber yang sama, hingga dengan sangat bingung guru Matematika memberikan nilai kami semua 100.
Umur perasaan yang kupendam juga sama dengan umurku di sekolah, setengah tahun menunggu bukan hal yang indah dan menyenangkan bagiku, hingga tersiar kabar yang amat tidak menyenangkan menyambar telingaku,
“lo tau ga Lang, Syifa udah jadian ?” Ryan, teman sebangkuku membawa kabar itu ketika kami sedang duduk berdua di bangku kami sambil menyantap nasi campur langganan kami di kantin, sejenak ku berusaha menguasai diriku hingga beberapa detik lalu Ryan kembali menyadarkanku,
“ hei, kenapa lo” celotehnya lagi.
“oh ngga, ga apa-apa emang dia jadian sama siapa Yan ?” ku balas sekenanya agar dia tidak kecewa.
“Bagus, kelas tiga”
“yang mana gue ga kenal” aku langsung memotong pembicaraan Ryan dengan pertanyaan bodoh, jelas aku sangat mengenal sosok itu, ia satu ekskul dengan ku di ROHIS, salahsatu Ekskul yang ada di sekolahku.
“halah pura-pura ga tau lo, dia kan anak ROHIS” ucap Ryan
“oh iya iya gue baru inget”
“lo kenapa sih,kaya nya ga seneng gitu, atau jangan-jangan lo suka yah sama Syifa” Ryan menatapku penuh Tanya.
“gue suka juga percuma Yan” gumam ku dengan suara pelan.
“apaan, coba ulang, ngomong kaya ngedumel lo” oceh Ryan.
“haha engga ko, gue seneng lah, masa temen jadian malah ga seneng siapa gue Yan ? jawabku mencoba meyakinnya.
“tapi ko tampang lo berkata lain yah” ryan kembali mengusikku.
“ah so tau lo, mang lo bisa tau isi hati gw. Jangan lebay” ujarku menepis sangkaan Ryan.
“tuh kan langsung sewot, yeee boleh nye keki haha” ledeknya.
“hem gembul” ledek ku sambil memenuhi mulutku dengan suapan nasi.
“eh lo apa kabar, liat dong badan lo” Ryan tak mau kalah
Bel sekolah memisahkan keributan kami yang sering terjadi namun tidak sampai parah, teman-temanku yang biasa duduk-duduk di luar kini kembali memasuki kelas dengan muka murung, mengingat setelah ini pelajaran fisika, jujur aku pun paling buta dengan pelajaran ini, rumus-rumus yang biasa ditulis pak suprayitno, guru Fisika kami ku anggap seperti gravity yang wajib kutulis walau ku tak tahu apa maknanya. Memang terkesan jahat, tapi memang itu kenyataannya, terkadang aku merasa kasihan dengan beliau, yang belajar hanya penduduk lapisan depan alias anak-anak yang duduk di barisan depan, sedangkan kami (aku dan teman-teman yang duduk di belakang) mendapat julukan para penghuni planet Pluto yang sangat jauh dan tak terlihat dan sering tidak di akui keberadaannya ketika guru-guru eksak mengajar.
Tapi dibalik itu semua kami masih menghormati dan tidak menyepelekan pelajaran, karena dengan itu kami bisa naik kelas dan lulus. Si rambut ikal itu kembali menatapku, entah apa arti tatapannya kini setelah kudengar berita memiluan itu dari Ryan, ku mencoba membalas tatapannya dengan seyum dan dia membalasnya, entah mengapa wanita itu selalu membuat diriku menggila walau ku tahu kenyataan tentang dirinya terlalu pahit untukku terima,
“gue bete nih” ucapnya tanpa suara namun kulihat jelas gerakan mulutnya mengucapkan kalimat itu.
“apalagi gue” kubalas dengan cara yang sama dan dia kembali tersenyum dengan sedikit tawa yang tertahan, membuatnya semakin manis mengisi penglihatanku di hari yang cukup panas dan pelajaran yang tak kumengerti.
“ehem udah punya orang” Ryan kembali mengusik kedamaian yang sangat jarang ku temui ini.
“bodo sebelum janur kuning melengkung tancep terus” jawabku asal.
“Gilang sini kamu maju” kali ini pak Suprayitno yang mengganggu, tentu tidak ku balas seperti membalas Ryan.
“iya pak, maaf tapi saya belum bisa” jawabku singkat dengan keringat mulai bercucuran, aku memang kurang berbakat dalam hitung-menghitung.
“maju aja dulu, tempe kamu, sini sini” beliau kembali menyuruh, ku beranikan diri walau hanya bermodalkan nekat dan rumus E = Mc2, rumus yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan materi yang ada di papan tulis, ku ingat rumus itu karena ku pernah melihat poster Einstein sedang menjulurkan lidahnya dengan ciri khas rambut yang acak-acakan dan memiliki belahan di tengah, di sisi kiri bawah poster ku lihat rumus itu yang belakangan ku ketahui itu adalah rumus relativitas yang sampai saat ini belum bisa di uji praktekkan di dalam teknologi, mungkin suatu saat bisa. Langkah ku terasa berat saat melangkah ke depan kelas, padahal hanya sepuluh langkah dari tempat dudukku, namun tetap saja aku merasa demikian.
“semalam kamu belajar ngga, hah ?” Tanya pak Yitno, panggilan akrabnya dengan logat nya yang sangat khas dan sering ditiru oleh Adrian, teman sekelasku juga, dan kadangkala aku pun ikut andil dalam meniru logatnya itu.
“belajar si pak tapi”
“belajar apa, belajar buka buku” jawab pak Yitno tanpa menunggu penjelasanku dan langsung mengundang gelak tawa teman-teman yang duduk.
“coba kerjain dulu ini, ayo” suruhnya lagi
“eh apaan ni” aku memutar punggung yang tadi menghadap papan tulis menjadi menghadap ke hadapan teman-temanku yang asyik duduk menikmati penderitaanku, ku bertanya kepada siapa saja yang kebetulan menoleh ke arahku, termasuk Syifa, langsung saja ku Tanya dia, ku tak mau membuang kesempatan ini.
“cepetan tulis yah” suruh Syifa sambil memberiku jawabannya, suaranya lembut sekali, masih dengan tawa jenakanya yang selalu mengundang simpatiku, pak Yitno masih melihat absen dan tidak sempat memperhatikanku. Tuntaslah sudah dan aku pun selamat.
***
“Hei Syifa”
Ku ketik pesan singkat lewat ponsel ku walau dengan hati yang penuh rasa takut dan debaran jantung kiat cepat berdetak. Tak lama kemudian ponsel ku berbunyi, buru-buru ku buka pesan yang ternyata dari X-A Syifa, nama kontak Syifa di ponselku.
“Apa gilang, hehe”
Beberapa menit kemudian dia membalas pesanku. Ku raih kembali ponselku dan mulai ku ketik kata-kata untuk membalas pesannya.
“Anggep aja ini pengakuan yah, gue sebenernya suka sama lo, sejak kita satu ruangan dulu waktu registrasi masuk SMA ini Fa, susah banget buat gue untuk ga mikirin lo, apalagi kita sekelas, pasti perhatian gue tertuju ke lo terus setiap saat.”
Syifa pun kembali membalsa setelah beberapa menit
“iya gapapa, gue ngerti ko, gue juga mau jujur kalo gue juga dulu sempet suka sama lo, gue juga nunggu lo, coba aja lo lebih dulu yang ngungkapin semua ini, pasti sekarang gue sama lo lang, hehe”
Ku baca kalimat per kalimat, otakku langsung memutar bayang wajahnya, seakan ia mengatakan apa yang ada dalam sms tersebut secara langsung di hadapan ku. Aku tertegun beberapa saat. Rasa bahagia dan rasa penyesalan terlebur menjadi satu menjadi sebuah rasa yang sulit untuk di ungkapkan. Akhirnya setelah aku dapat menguasai diri, ku balas sms darinya.
“andai waktu bisa diputer yah,tapi ya udahlah udah terlanjur semuanya. Makasih yah Fa udah mau buatin satu tempat di hati lo buat gue walau Cuma sesaat.”
Ibu jari ku seakan berat menekan tombol kirim yang ada di sisi kanan ponselku. Setelah sekian lama menunggu dengan hati gundah akhirnya dia membalas.
“iya Gilang, jadiin ini pelajaran buat lo, suatu saat ketika lo suka sama seseorang, tunjukin rasa itu, dan ungkapin ke dia, biar dia tau ada orang sehebat lo yang suka sama dia ^_^”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar