Kuliah dan pertemuan
Kampus, mungkin bagi sebagian orang merupakan suatu pencapaian atau kebanggaan yang selalu di pamerkan kepada setiap orang. Teman, keluarga, bahkan orang-orang di sekitar lingkungan. Namun bagi Cecille ini merupakan sesuatu yang buruk, baginya sesuatu yang baru berdampak negative. Tempat baru, teman baru, suasana baru, semua serba baru, beradaptasi mungkin salahsatu hal yang tidak terlalu ia suka, mungkin juga tidak ia suka, kini ia sedang berada di dalam mobil jeep milik ayahnya Dave Benningfield, seorang tukang kayu yang cukup popular. Mobil hitamnya melaju melewati hutan redwood yang menjadi jalan utama, pepohonan itu seakan berlarian dibalik kaca mobil mereka. Gantungan dadu merah yang menggantung di kaca spion dalam mobil bergoyang-goyang seiring laju mobil dan kadang bergetar ketika mobil Dave terkena tanggul jalan.
“Percayalah pada ayah Cecille, kampus bukanlah tempat yang buruk”. Ucap Dave memulai percakapan untuk lebih mencairkan suasana.
“Ya dari dulu ayah selalu bilang begitu” jawab Cecille sedikit mencibir.
“Kau akan memulai sesuatu yang baru nak, ayah sudah siapkan segala sesuatunya untukmu, kau hanya perlu mempersiapkan dirimu” jelas Dave meyakinkan.
“Bisakah kita cari topik lain yang lebih baik, tentang penyebab ayah pisah dengan ibu misalnya atau…”
“Itu ayah tidak suka, kita cari topik lain”
“Ayah juga tidak suka terhadap suatu hal kan ?”
“Permasalahan orang dewasa jauh lebih rumit nak”
“Oh jadi ayah tidak sadar kalau aku juga sudah dewasa”
“Kau masih remaja, belum jadi dewasa”
“Lalu kenapa hanya karena Stefani hamil diluar nikah kita harus pindah rumah ayah”
“Dengar Cecille, kau anak perempuan, ayah tidak mau terjadi apa-apa denganmu, paham ?” Bentak Dave.
“Tapi….” Sanggah Cecille yang terputus karena suara dering ponselnya.
“Ia bu, aku sedang bersama ayah sekarang, kau pasti sedang bersama Erick, oke I love you too”tutup nya.
“Dari dulu ayah tidak Setuju ibumu dengan lelaki itu” ucap Dave.
“Kalau begitu rebutlah ia kembali ayah” balas Cecille mulai bersemangat.
“Sudah ayah bilang masalahnya tidak semudah itu Cecille” tolak Dave.
“Permasalahannya adalah ayah tidak pernah mau mencoba, hanya itu”
“Hem oke, kita mau pindah dan ayah mau semua senang, tanpa konflik, setuju” Tanya Dave mencoba menyudahi pertengkaran dengan putrinya.
“Hah baiklah, terserah ayah”.
Mereka akhirnya terdiam dalam kesunyian, sesunyi hutan yang mereka lewati, tak lama kemudian mereka menyambangi jembatan yang cukup panjang dan menjulang tinggi, di bawahnya terdapat sungai yang mengalir jernih, ikan-ikan berlompatan mencoba melawan arus yang cukup deras saat itu, roda ban jeep Dave tak henti bergelinding di atas jalan yang mulai memerah karena campuran tanah basah akibat terkena guyuran hujan semalam. Cecille membuka kaca mobilnya dan menikmati tiupan angin yang menerpa seluruh wajahnya. Angin itu mengibaskan sebagian rambutnya yang ikal dan panjang sepunggung. Sang ayah masih terdiam sambil sesekali menghisap cerutu yang ia selipkan di antara jari tengah dan jari telunjuknya, kini Cecille menaruh pipinya di lengan yang ia taruh di sisi atas pintu mobil, wajahnya menghadap ke kaca spion, pantulan yang ada di kaca itu secantik aslinya. Mata hijaunya terang terkena bias mentari pagi yang hangat menyinari, tanpa sadar ia menyunggingkan senyum melihat pantulan wajahnya di kaca itu lalu kembali ke posisi awal. Memejamkan mata dang menghirup udara dalam-dalam, lubang hidungnya kembang-kempis menerima udara yang masuk.
Panorama pegunungan yang indah menyejukkan mata, aliran air sungai mengalir memantulkan cahaya putih mengkilap disambut sinar mentari, lambaian bunga edelwise seirama harmonis dengan tiupan angin harum, sekelompok burung terbang di atasnya dengan kepakan sayap penuh semangat, bunga-bunga bermekaran menghiasi taman-taman dengan rerumputan hijau yang tertanam rapi dan teratur.
Sesekali terdengar suara jangkrik dengan merdu, kelinci belarian tak tentu arah, kambing dan domba tidur nyenyak disamping singa dan buaya yang juga sedang memejamkan mata menikmati sejuknya udara, gelas-gelas emas bertengger di atas meja panjang yang diisi oleh orang-orang yang beraroma harum tubuhnya, memakai pakaian jubah sutra lembut hingga ujung kakinya, sebagian dari mereka menenggak air dari gelas tiu hingga habis tak tersisia lalu mereka menenggak lagi-lagi dan lagi. Para wanita bercengkrama di tepi sungai sambil memakan rumput di sekitar sungai itu bagai memakan lalapan, pipi mereka memerah menahan manisnya rumput itu lalu merauk air dari sungai menggunakan kedua telapak tangan mereka. Mereka tidak merasa kepanasan, karena naungan awan berkumpul meneduhkan. Warnanya putih seputih susu yang baru keluar dari putting sapi yang sedang dipanen susunya. Tak jauh dari sungai itu terdapat istana-istana yang amat megah dengan paga-pagar besi yang menjulang, atapnya berkilau karena gentenganya emas murni, dindingnya berwarana jingga dengan ukiran-ukiran indah menghiasinya. Kolam air mancur berbentuk elips dengan semburan airnya yang beputar-putar mengeluarkan air bening, susu, dan madu dari tiga sumber yang berbeda, dilengkapi dengan tiga puluh semburan air melingkari tiga semburan tadi,
“Apakah ada tempat seindah ini” Tanya Larry setelah mereka terbang berpatroli mengamankan tempat dimana tidak ada ada tempat seaman disana.
“Kapan kau berhenti menanyakan pertanyaan bodoh itu, inilah tujuan akhir manusia, stasiun terakhir dari sekian banyak stasiun di dunia, pelabuhan maha megah dari pelabuhan manapun yang pernah ada, tak pernah kau sadari itu ?” jelas Athor.
“Tapi apa kau tidak ingin merasakan keindahan ini ?” Tanya larry lagi
“Maksudmu ?” ungkap Arthor balik bertanya.
“Maksudku, kita tidak punya perasaan Arthor, kita stabil, tidak pernah turun dan tidak pernah naik, apa kau juga menyadari itu”
“Hem, yah kadang aku berfikir seperti tiu, tapi inilah takdir Lerry”
“Andai kita punya perasaan” gumam Larry perlahan.
“Hei jangan mulai lagi Larry, jangan mulai lagi, apa kau ingin mengajakku ke tempat perasaan”Tanya Arthor.
“Yah tepat sekali, tapi kali ini harus berhasil”
“Berhasil apa” apa kau gila, sudahlah aku mau kembali mencatat perbuatan manusia jadi jangan ganggu aku”
“Hei Arthor, jangan kaku begitu, bagaimana kalau kita taruhan ?
“Dari sekian banyak malaikat hanya kau yang mengajakku taruhan, apa yang mau kau pertaruhkan ?” Tanya Arthor sambil mempersiapkan catatannya yang berbentuk persegi panjang seperti papan, berwarna biru transparan dengan tulisan-tulisan yang berkelap-kelip bergantian muncul dan sebagian lagi menghilang, seperti daftar nama ribuan orang yang termaktub di dalamnya.
“Apa syaratnya” Tanya Arthor sedikit malas.
“ aha kena kau, begini siapa yang lebih dulu sampai ke tempat penghitungan dia yang menang dan yang kalah harus mengambil salah satu perasaan” terang Larry.
“Satu kata Larry, GILA” Tolak Arthor
“Ayolah kawan,ini akan mengasyikkan, atau jangan-jangan kau takut kalah dariku dalam memasukkan data, hem ?” Tanya Larry menggoda.
“Hei, tidak ada yang bisa mengalahkan kecepatanku” ungkap Arthor membela diri.
“Kalau begitu terima tantanganku” tantang Larry.
“Baik aku terima” ucap Arthor yang langsung meluncur dari tempat mereka bercengkrama di puncak gunung tadi.
“Bantu ayah mengangkat koper ini Cecille” ucap Dave meminta bantuan anaknya mengangkat koper berisi pakaina dan buku-buku bacaan.
“Ayah kan kuat, masa begitu saja harus kubantu” kata Cecille sedikit enggan.
“Ayolah Cecille kau malas sekali melakukan kebaikan” balas Dave menimpali.
“Baiklah, darimana kau tahu tempat ini, sepertinya lumayan asyik untukku menyendiri”
“Ayah dapat dari rekan ayah, ia satu profesi dengan ayah, sebentar, kau pasti suka yang ini” ungkap Dave sambil berlari menuju jendela, ia membuka perlahan tirai yang menutupi pemandangan di luar jendela itu.
“Wow keren sekali ayah, aku suka yang ini” teriak Cecille melihat sebuah danau dari jendela rumahnya, danau itu berair jernih meski dilihat dari kejauhan.
“Hem masih ada satu lagi” ucap Dave makin membuat Cecille penasaran.
“Ayolah ayah, aku sudah tidak sabar” pinta Cecille sedikit manja.
“Baiklah persiapkan dirimu nak” Dave langsung membuka bungkusan berukuran sedang berbentuk kotak yang ia simpan dibalik tangan kanannya dari tadi.
“Wah lucunya, kau memang ayah terbaik di seluruh dunia” ungkap Cecille sangat bergembira sambil mengelus lembut anak anjing helder pemberian ayahnya yang ia taruh di pergelangan tangannya sambil memeluknya erat penuh kehangatan.
“Tapi hari ini bukan hari ulang tahunku ayah, kenapa begitu banyak hadiah untukku?”
Tanya Cecille ketika terlelap dipelukkan ayahnya di ruang tamu rumah baru mereka. Cecille kemudian menaruh anak anjing itu di atas lantai,
“Hem anggaplah ini semua hadiah karena kau lulus dengan nilai yang sangat tinggi nak” jawab Dave sambil melepas pelukannya dan menggenggam kedua bahu anak perempuannya itu.
“Maafkan ayah karena belum bisa menjadi yang terbaik untukmu dan suami yang baik untuk ibumu, ditengah masamu menuntut ilmu yang seharusnya peran orangtua sangat dibutuhkan, kami malah bercerai, kami memang egois” tanpa terasa airmata Dave mulai meleleh membasahi pipinya dan ruas-ruas sisi matanya yang mulai keriput termakan usia, bibirnya bergetar mengucapkan kata-kata yang begitu ingin ia ungkapkan pada Cecille sejak dulu, namun ia merasa sekaranglah waktu yang tepat.
“Sudahlah ayah, jangan menangis, aku sayang ayah, ayah sayang aku dan ibu, itu sudah lebih dari cukup bagiku”. Ucap Cecille tak kuasa menahan gejolah emosi yang juga ia rasakan begitu membuncah tak terkendali.
“Tapi kau mampu berprestasi walau keadaan keluargamu yang sangat tidak kondusif nak” tambah Dave makin histeris.
“Ayah, rasa cintaku padamu dan ibu lebih besar dari apapun, aku yakin ini semua akan berakhir dengan akhir yang bahagia. Betapapun besarnya rintangan dan serumit apapun masalah yang ada, asalkan kita hadapi bersama, semua akan baik-baik saja” jelas Cecille sambil mengusap airmata Dave lalu meraih rambut disekitar kepala belakang Dave dan mengusapnya dengan lembut.
“Beruntungnya aku memiliki anak sepertimu” ungkap Dave.
“Aku juga”. Balas Cecille.
“Frankie Lamori, Jake Saluman, Adam Smith, Maria Kisstle, Clarke Worgain, Battres Scrome, hem semua sudah” gumam Arthor melacak catatan birunya dengan jari-jemarinya yang sudah terlatih melakukan pekerjaan rutinnya. Catatannya tiba-tiba berbunyi seperti alarm yang sedang membangunkn pemiliknya dari tidur, layarnya penuh dengan dua kata, dua kata yang menunjukkan sebuah nama.
“Cecille Beninngfield ada apa dengan satu nama ini, tunggu. Dia melakukan kebaikan yang cukup besar, baiklah Cecille selamat” gumamnya lagi lalu ia kembali mengembangkan sayapnya dan terbang membelah cakrawala langit saat itu. Ditengah perjalanan ia bertemu Larry. Ia melambaikan tangan kepadanya sambil tersenyum kecil lalu melesat lagi ke atas. Kulitnya bercahaya di bawah sinar mentari dan kepakan sayapnya makin membentang keras menerpa angin disekitarnya,Larry sudah tak terlihat lagi. Ia semakin yakin bahwa ia tidak akan melakukan hal yang menurutnya gila.
“Hei malaikat rasakan ini hahaha” tiba-tiba Larrry menyemburkan bulu-bulu sayapnya ke arah Arthor, tak khayal kecepatan Arthor pun berkurang dan makin lambat karena kini wajahnya dipenuhi bulu-bulu sayap Larry.ia sedikit terguncang dan hilang kendali namun beberapa saat kemudian ia bisa menguasai dirinya lagi dan mencoba menengadahkan kepalanya ke atas. Larry sudah tak terlihat lagi sekarang, yang terlihat hanya tumpukan awan yang menggunung tinggi menyelimuti Arthor, kepakan sayapnya mengibas awan-awan yang menyelimutinya itu dan ia kembali meluncur ke atas.
Gedung megah berisi tabung-tabung besar dan tinggi Nampak dipenuhi oleh teman-teman Arthor dengan membawa catatan yang sama seperti miliknya. Sebagian dari mereka ada yang sambil terbang memasukkan data kebaikan dan keburukan manusia. Ia masih mondar-mandir tak tentu arah mencari sosok Larry yang dari tadi tidak terlihat batang sayapnya, yang ia lihat hanya data-data seperti kartu yang tersebar beterbangan memasuki tabung-tabung raksasa yang tertera nama-nama di sisi bahwanya disertai lubang persegi panjang kecil yang menjadi tempat kartu-kartu itu masuk. Atap gedung itu seperti gabungan ribuan warna yang dilebur dalam satu wadah, berkelap-kelip membentuk suatu gradasi warna yang indah menerangi ruang penghitungan tersebut. Arthor kembali mengeluarkan catatanya dari saku jubahnya. Catatan itu berubah dari ukuran kecil menjadi besar dalam waktu sekejap dengan tulisan-tulisan daftar nama di sudut kiri-kanannya. Warnanya yang transparan menjadikan tulisannya terlihat walau dari sisi bawah atau dari sisi manapun, kini bagian tengah catatan Arthor menyembulkan tombol bulat yang cukup besar, ia memutar tombol itu ke sebelah kanan lalu menekannya kedalam perlahan. Terdengar bunyi suara kartu-kartu itu keluar dan langsung berpencar seperti burung yang mencari betinanya, atau seperti anjing yang menghampiri pemiliknya. Setelah beberapa lama ia melepaskan tangannya dari tombol itu dan tombol itu hilang dengan sekejap berganti menjadi daftar ribuan nama kembali, segera ia bergegas memasukkannya kedalam saku.
“Sudah selesai ?” suara yang sudah sangat Arthor kenal menyapanya dengan nada meledek.
“Hahaha sudah kubilang Larry tidak ada yang bisa mengalahkan kecepatanku, aku sampai duluan dan sudah menepati apa yang sudah kita sepakati” jelas Arthor berapi-api menjelaskan.
“Hei tunggu dulu sobat, kau ingat kejadian “bulu sayap” di langit tadi ?” Tanya Larry dengan wajah menyebalkan.
“kau curang Larry, kau menjebakku” tandas Arthor ketika ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi.
“Aku tak peduli bagaimana prosesnya, yang penting hasil akhirnya, aku yang menang Arthor, apa aku yang harus menuntunmu ke tempat itu ?” goda Larry.
“Tanpa kau suruh pun aku akan kesana” jawab Arthor lemas.
“hahaha ini akan menjadi pertunjukkan yang mengasyikkan, iya kan ?” ejek Larry makin menjai-jadi.
“Baiklah kita tuntaskan masalah ini” ucap Arthor sambil berlari kecil lalu melompat cukup tinggi yang dengan seketika pula sayapnya merekah dan mengembang menerpa udara disekelilingnya.
“hei kau tak perlu terburu-buru begitu hahaha” teriak Larry dengan senyum tidak simetris di wajahnya yang bersinar.
Hutan malam itu berkabut tebal dan gelap pekat, hanya cahaya dari rembulan yang menerangi tempat itu, namun sekejap kemudian gelap gulita kembali setelah bulan tertutup padatnya kumpulan awan. Suara semak belukar bergoyang cukup keras terdengar bergemuruh memecah sunyinya malam, kilatan senter berlomba menyinari semak itu, dua orang pemilik senter itu masih menyinari semak itu dari pos mereka yang berada tak jauh dari tempat yang mencurigakan itu.
“Hei Max apa kau lihat sesuatu yang mencurigakan itu ?” Tanya petugas yang satu kepada temannya.
“Kita berdua kan dari tadi memperhatian semak itu Jhony” jawab Max kesal.
“Oh saya pikir” balas Jhoni sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ya sudah, kau ini” ucap Max lagi, Jhony mematikan senternya lalu masuk kedalam dapur pos itu, beberapa menit kemudian ia kembali mendekati Max dengan membawa secangkir kopi hitam hangat.
“Dari mana saja kau ? aku ditinggal sendirian”
“Maaf, ini saya buatkan kopi” tawar Jhony.
“Siapa yang minta kopi ?” Tanya Max.
“Oh saya fikir” ucap Jhony menarik kembali kopi yang sudah ia buat ke dadanya.
“Eh kenapa di ambil lagi” Max keheranan.
“Oh saya fikir” ucap Jhony dengan tampang lugunya
“saya fikir saya fikir, ya sudah taruh kopi itu dan ikut aku kesana” suruh Max menahan kesal.
“Kemana Max ?” Tanya Jhoni masih dengan wajah tanpa dosa.
“ke rumahmu, lalu ku ambil tali tambang dan ku gantung kau hidup-hidup, ya ke samak-semak yang mencurigakan itu lah Jhony, ya ampun” jawab Max sambil menepukkan tangan kanannya ke muka sebagai bentuk keputusasaan yang teramat dalam.
“Oh iya benar juga” ucap Jhony singkat.
“Ikuti aku sekarang” pinta Max.
Mereka akhirnya pergi menyusuri hutan yang dipenuhi oleh pepohonan, suara sayup anjing menggonggong menyelinap menghampiri telinga mereka membuat bulu merinding dangan suasana yang senyap dan gulita. Sumber cahaya hanya berasal dari senter mereka dan bantuan sinar bulan yang bersinar dari sela-sela dedaunan. Cahayanya yang berhasil menerobos hanya sedikit membuat garis-garis seperti benang panjang yang melintang menusuk tanah yang dipenuhi hamparan ranting dan dahan yang berjatuhan. Semakin lama mereka semakin dekat dengan semak itu hingga mereka berdua tersungkur ketika melihat sepasang sayap hitam kemerahan merekah bagai ekor merak, bulu-bulu kecil di sayap itu berjatuhan terkena terkena ranting pohon di sisinya, sosok itu membelakangi mereka namun tetap saja membuat dua penjaga hutan ini seperti dipantek dengan paku berukuran besar. Kaki mereka dibuat lunglai dan kaku seketika, tangan mereka gemetaran membuat cahaya yang terpancar dari senter juga ikut bergoyang membabibuta. Kedua tanduk yang menjulang ke atas seperti mendeskripsikan keganasan makhluk ini, ia masih membelakangi kedua petugas itu. Tak lama kemudian makhluk itu mengibaskan kedua sayapnya yang sadari tadi mengembang menakutkan, seperti mengambil ancang-ancang untuk terbang. Semak belukar di sisinya bergerak berlawanan tertiup sayapnya. Secepat kilat ia terbang menerobos pepohonan yang mencoba menghalanginya. Kedua petugas itu tak sadarkan diri setelah melihat pemandangan yang sangat tidak didambakan oleh siapapun itu. Merka berdua tersungkur ke tanah.
Pagi kembali hadir membawa udara sejuk setelah malam menyelimuti dengan dengan angin dingin, sang fajar masih bersembunyi dibalik rimbunnya awan yang menutupi, lambat laun sosoknya mulai terlihat dan sinarnya terasa hangat mengenai setiap inchi kehidupan yang ada dibawahnya. Semua rata, tak lebih dan tak kurang sinarnya. Sesuai pada porsi dan ukurannya, semua terassa begitu seimbang.
“Hei kalian sedang apa disini ?” bangun cepat” suruh Dave sambil menggoyangkan kedua tubuh gembul berwarna sawo matang itu.
“hem aah tidak makhluk itu, makhluk itu” teriak Max yang bangun lebih awal dari Jhony.
“Makhluk apa, apa yang kau bicarakan, tidak ada apa-apa disini” Dave mencoba meyakinkan mereka.
“Pak Dave, kau harus hati-hati disini ada penunggunya” ucap Jhony gemetaran.
“Iya memang ada penuggunya, ya kalian berdua ini penunggunya” jawab Dave cekikikan menahan tawa.
“Kami serius pak Dave, sebaiknya kau jangan menebang sembarangan” pinta Max menambahi.
“memang begitu prosedurnya kawan, aku juga tidak asal tebang. Lagipula kalian kan yang biasa memilihkanku pohon mana yang sudah layak tebang. Mungkin kalian terlalu banyak minum semalam” jelas Dave.
“Kami melihat makhluk aneh semalam pak, besayap, bertanduk, seram sekali” tutur Max menerangkan.
“huss, sudahlah surat ijin tebangnya sudah ku taruh di meja pos kalian, cepat tandatangani, nanti ku ambil setelah kutebang pohonnya. Kali ini biar aku saja yang memilih sendiri, otak kalian berdua sedang tidak beres” Dave seperti memarahi kedua bocah kecil yang memecahkan kaca rumah dengan bola kasti. Mereka berdua hanya menunduk .
“Baiklah pak, kami percaya bapak bisa memilih mana yang bagus. Kami pamit” ucap Max pada Dave, lalu mereka berdua pergi sambil menggerutu, saling menyalahi apakah yang mereka lihat semalam itu benar atau tidak. Dave mulai menyalahkan gergaji mesin, dia menyalahkan menekan tombol ON yang ada di sisi kiri mesin itu, semakin lama semakin kencang putarannya, terdengar bising, buru-buru ia mendekati mesin itu ke pohon yang telah ia pilih. Di tengah pemotongan sesuatu bergetar, ternyata ponselnya bordering cukup keras ketika ia mematikan gergaji mesinnya dengan agak tergesa mengambil ponselnya. Dave sempat tertegun melihat seonggok nama yang muncul di layar LCD ponselnya. Ia memutuskan untuk mengangkat panggilan itu.
“ Iya ada apa ?” sapa Dave datar.
“Apa kau bersama Cecille” Tanya HIena, istri Dave.
“Tidak, ia sedang dirumah, ada apa ?” Tanya Dave lagi dengan nada yang sama datarnya dengan pertanyaannya yang pertama.
“hem tidak apa-apa, aku hanya mengkhawatirkannya “ ucap Hiena.
“Khawatir ? apa itu artinya kau tidak percaya padaku” Dave menaikkan nada bicaranya.
“Kau tak perlu tersinggung Dave aku…”
“yah aku memang tidak tersinggung”.
“lalu apa namanya kalau bukan tersinggung, marah ?” dari suaramu aku sudah bisa merasakan kemarahanmu”
“oh kau masih bisa merasakan kemarahanku, kukira kau sudah mati rasa”
“Sudahlah Dave jangan melebarkan masalah”
“Siapa yang melebarkan masalah, lelaki itu sudah merubahmu terlalu banyak Hiena.”
“Tidak ada yang merubah atau dirubah Dave”
“Baiklah kalau begitu, aku ingin Tanya. Apa kau pernah bertanya pada anak kita satu-satunya itu berapa nilai yang ia dapat ketika ia lulus SMA, apakah tak terlintas difikiranmu untuk mengucapkan selamat padanya, Cuma kata I love you, I love you, I love you saja yang kau ucapkan tapi tidak ada artinya.” Tandas Deve meledak-ledak menumpahkan kata-kata tanpa memberi Hiena kesempatan bicara.
“Aku hanya lupa Dave, maafkan aku” tutur Hiena terisak tangis.
“terlalu banyak yang kau lupakan Hiena” balas Dave lalu langsung mematikan telepon dari Hiena begitu saja.
“Arthor, inilah saatnya” sahut Larry sambil tertawa.
“Oke kau menang, tapi biarkan aku berfikir dulu Larry” ucap Arthor.
“Kalau aku boleh menyarankan kau pilih saja perasaan…”
“Diam, jangan menjebakku lagi” tolak Arthor.
Mereka berdua berdiri dikelilingi oleh sinar-sinar yang sangat terang menyilaukan, sinar-sinar itu berasal dari sesuatu yang berbentuk abstrak dan berkilau seperti Kristal. Melayang-layang mengelilingi mereka, ruang tempat mereka berpijak seperti tak beralas dan tak beratap, mereka seperti berdiri di suatu dimensi yang lain.
“Akan kuambil yang ini” ucap Arthor sambil memegang satu dari sekian banyak zat yang abstrak itu.
“Itu adalah perasaan…”
“Cinta, aku tahu itu Larry”
“eee ku kira kau mau mengambil yang lebih hebat dari itu, tapi tidak terlalu buruk untuk pemula” celoteh Larry.
Setelah Arthor menyentuh zat itu tubuhnya seperti dimasuki sinar yang terpancar dari zat itu, menyelubungi kaki, tangan, kepala hingga berakhir di dada Arthor, cahaya itu berkumpul membentuk gumpalan dan masuk menembus dadanya, menyelinap tanpa seizinnya, Arthor sedikt berteriak menahan sakit yang ia rasakan ketika kumpulan cahaya itu memasuki tubuhnya.
“Itu hanya sementara Arthor, setelah itu kau merasa berbeda” Terang Larry ketika berada dihadapan Arthor dan meraih kedua bahunya.
“Kau sepertinya tahu banyak masalah ini” Tanya Arthor.
“Percaya atau tidak aku telah mengambil perasaan perasaan juga, sama sepertimu” tutur Larry menjelaskan.
“Memangnya perasaan apa yang telah kau ambil ?” Arthor merasa belum puas dengan jawaban Larry yang ia terima.
“Suatu saat kau akan mengetahuinya Arthor” jawab Larry sambil berlari meninggalkan Arthor dengan kepakan sayapnya.
“jangan lupa temui Cecille” teriak Larry dari kejauhan.
“darimana ia tahu nama itu” gumam Arthor dalam hati yang tak lama kemudian dikagetkan oleh suara catatannya bordering hebat, ia membukanya dan nama Cecille kembali mencuat.
“Aku harus menemuinya, sepertinya ada yang harus kuberikan padanya” gumamnya lagi, ia terbang meninggalkan ruangan itu dengan keadaan yang berbeda dari sbelumnya. Mungkin mulai saat itu ia akan merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Maaf teman aku harus pinjam jasadmu, aku tak mungkin menampakkan diri dengan wujudku yang seperti ini” Mizzle berbicara dengan dirinya sendiri.
Sesaat kemudian seorang suster datang menghampiri jasad itu bersama seorang petugas, seragam putih dengan rok span putih khas suster melekat menutupi tubuhnya yang langsing.
“Pak, mayat ini ditemukan di wilayah kerusuhan sector enam belas. Setidaknya itu yang aku terima dari penjelasan polisi yang tadi mengantarnya.” Tutur nya kepada petugas kamar mayat yang berada di sampingnya.
“Baik bu, nanti saya urus semuanya” jawabnya tegas.
“oke, sekarang waktunya istirahat, santai saja dulu pak” suruh suster itu.
“Baiklah” balas petugas itu lalu mereka berjalan beriringan melewati pintu lalu berbelok kea rah kantin.
Mizzle memutuskan untuk menggunakan jasad itu, mula-mula ia menatapnya cukup lama sambil mengapung beberapa senti di atasnya, mencoba meyakinkan dirinya akan apa yang dia lakukan, setelah itu ia menghadap ke atas membelakangi jasad itu masih dalam keadaan mengapung, perlahan ia mulai turun memasuki jasad itu, bagian tubuh yang ia masukkan pertama kali adalah kepala, lalu badan hingga yang terakhir kaki. Kemudian ia mencoba menggerakan jari-jemari tangan dan kakinya setelah ia masuk ke dalam jasad itu seutuhnya. Selanjutnya ia bangkit dari pembaringan perlahan, ia merasakan pusing yang sangat dahsyat.
“Aduh, kenapa kepalaku berat sekali, seperti ada sesuatu di dalamnya” gumamnya sedikit merintih menahan sakit.
Ia masih mendekap tempurung kepalanya dengan kedua telapak tangannya, terdengar suara gesekan daging yang berlubang mengeluarkan sesuatu, Mizzle berusaha memusatkan kekuatan ke kepalanya yang sangat penat itu, kemudian darah segar keluar dari lubang yang ada di kepala belakangnya dengan sebuah peluru yang ikut keluar mengikuti aliran darah.
“Kasihan sekali nasib manusia ini” ucap Mizzle ketika mencoba berdiri namun tangan kanannya menyentuh dinding kamar kamar mayat itu untuk menahan bobot tubuhnya. Ia berjalan melewati beberapa tempat tidur yang dipenuhi oleh jasad-jasad yang sudah tak bernyawa.
“Tampaknya lumayan juga, tapi tanduk ini harus ku masukkan” tutur Mizzle lalu menekan kedua tanduknya dengan kuat ke dalam kepalanya. Ia keluar dengan langkah sedikit sempoyongan, orang-orang di sekitarnya menatap Mizzle dengan tatapan yang mencurigakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar